Sabtu, 06 September 2014

aku, kamu, dia (4)

Diam seribu bahasa. Kata yang sering terdengar diucapkan oleh bermacam-macam karakter manusia. Tatapan kosong. Menatap satu sama lain. Bibir enggan berkata, tapi berbeda dengan hati bukan. Mungkin bibir berkata seadanya untuk memecah keheningan itu, tapi apakah begitu pula dengan mata indah yang selalu memancarkan kebaikan atau keburukan hati seseorang.

---

"saling support?"
Kami memang sedang dalam kebingungan. Enggan untuk menjatuhkan satu sama lain. Kata yang terlontar pun sudah jelas menandakan kami sedang dalam kompetisi yang tidak penting di masa labil itu. Namun apa daya, hati tidak bisa berbohong. Jelas kami harus terima karena hanya satu diantara kami yang akan mendapatkan kebahagiaan yang diinginkan walau hanya sesaat. Ya kami memutuskan bahwa kami harus saling mengerti karena kami adalah sahabat.

"Persaingan? Aku rasa jika ini kompetisi, aku pemenangnya"
Hari demi hari terlewati, aku, Vivi, dan Aini memiliki cara masing-masing dalam mencari perhatian Rizky. Entah itu melalui pesan singkat di ponsel ataupun berbicara langsung olehnya. Namun seiring berjalannya waktu aku menyadari, aku dan Rizky sangat amat dekat dan sudah bisa kubilang mungkin sebentar lagi aku lah yang akan memenangkan kompetisi ini. Rizky sering sekali berbicara denganku baik secara langsung maupun melalui ponsel. Kami berbicara banyak hal dengan kelembutannya, dia menceritakan betapa ia senang saat berbicara denganku dan betapa ia juga senang melihatku dan teman-teman bahagia. Pikiriku mana ada cowok yang lebih sempurna dari lelaki yang bisa melihat kebahagiaan orang lain tidak hanya kebahagiaannya sendiri.

"Mau jadi pacarku?"
Setelah sekian lama aku dekat dengan Rizky akhirnya dia mengatakan hal itu. Bahagia, jelas sekali terlihat dari raut mukaku. Dari kegugupanku saat ingin menjawabnya. Tapi, aku rasa aku perlu berfikir ulang lagi bukan. Aku yakin dia yang tepat untukku, tapi dia adalah pacar pertama bagiku jika aku menjawab 'Ya'. Aku tidak ragu, hanya butuh waktu mungkin. Waktu untuk memastikan apakah aku benar-benar ingin bersamanya. Waktu untuk menjelaskan pada kedua sahabatku bahwa pada akhirnya dia menjatuhkan pilihannya kepadaku.

"Beri aku waktu satu minggu. Bisa?"
Itu jawabanku kepadanya. Terlihat jelas ia tak tampak bahagia. Ia terlihat berfikir mungkin aku hanya mempermainkannya. Namun dengan manisnya ia menjawab, 'ya baiklah'. Aku rasa dia cukup mengerti bahwa aku hanya ingin berfikir dengan jelas, dengan baik tentang hubungan ini. Aku tersenyum bahagia. Setelah hari itu berakhir, ia terus mengejarku setiap usai sekolah bermain dengan gitarnya, ia selalu mengatakan 'kapan akan dijawab?' dan aku hanya akan menjawab 'tunggu saja, belum waktunya' :)

"Bisa tunggu aku hingga lulus, aku janji saat itu kita akan pacaran"
Setelah satu minggu lebih aku memutuskan untuk menerimanya. Menjadikan dia sebagai pengalaman pertamaku untuk memiliki seorang pacar. Setelah semua keberanian yang kudapat untuk menerimanya, ternyata dia menyuruhku untuk menunggu hingga ia lulus. Dengan jarak terpaut 2 tahun aku sangat bisa memahaminya. Ia ingin fokus dengan kelulusannya dan membuatku lebih bangga lagi. Tanpa kecurigaan apapun dan tanpa rasa kecewa aku jelas akan menunggunya. Bagiku akan sangat menyenangkan bahwa aku akan mensupportnya hingga kelulusan dan akan berada di sampingnya saat masa bahagia itu tiba. Tidak masalah bagiku karena hingga saat itu tiba dia tidak akan menghilang jauh dariku.

Aku mungkin harus menceritakan hal ini kepada Vivi dan Aini. Waktu sudah berlalu cukup lama. Tapi aku tidak cukup berani menyakiti hati teman-temanku ini. Hingga akhirnya aku tidak perlu menceritakan hal ini pada Vivi karena Vivi mengetahuinya dari ponselku yang ia pinjam saat kami sedang latihan menari untuk pementasan pada saat malam kesenian.

"Benar dia mengatakan ini sama kamu?"
Vivi menunjukkan sms di ponselku yang bertulisan bahwa aku dan Rizky akan berpacaran setelah Rizky lulus nanti. Dengan tersipu malu dan merasa sedikit bersalah aku mengiyakan dan mengatakan maaf bahwa aku tidak mengatakannya lebih awal kepada Vivi. Kami terdiam sejenak. Aku berfikir Vivi akan marah padaku, aku merasa sangat bersalah. Dan hal yang tidak kuduga terjadi. Air mata Vivi jatuh. Matanya yang berkaca-kaca membuat pikiranku kacau. Apakah Vivi begitu menyukai Rizky hingga ia terpukul seperti ini, begitulah pikirku. Namun dugaanku salah karena satu kalimat dari Vivi.

"Aku dan Rizky sudah jadian tanggal 24 kemarin...."

--- to be continue ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar